Janji Janji, Janji Tinggal Janji


Oleh: M Fahri Hozaini

1 April 2021 harapan baru di bulan ini. Semilir angin menerka bak harapan yang semakin menua. Tunas muda yang serasa menggeliat mulai terhimpit usia, lapuk seperti bangunan di depan sana. 

Sedikit saja saya ingin menggambarkan betapa kemeleratan telah berkuasa di antara masyarakat kita. kebijakan, anggaran yang melimpah ruah tak pernah beregulasi dengan tepat sasaran.

Saya coba belajar memfoto kebetulan saya dapat foto bagus dan estetik, barangkali kalian suka foto dibawah ini.
Saya mencoba mendekat. "Pak kalebun dek ennak, romanah e foto" "Kepala desa tadi ke sini", Bahasa madura yang lugas tulus penuh harap, tak terasa telah membawa sedikit demi sedikit imajinasi. Saya bilang dengan santai "negeri kita negeri dongeng", Ia malah diam seperti halnya orang bodoh yang masih saja di bodoh-bodohi. 

Cerita paman setelah pak Klebun datang kerumah kami dan sedikit-demi sedikit merajuk seolah-olah akan membangunkan rumah, mungkin saja omong kosong seperti dalam buku Seno "Kitab Omong kosong". Ceritanya seorang yang haus untuk mendapatkan buku bernama 'Kitab Omong Kosong' yang tak lain hanyalah fiktif karena belum akrab dengan kenyataan. Sang pencari kitab masih terbayang-bayang cerita tukang dongeng, dengan bumbu kenikmatan setelah menemukan kitab itu. Pada akhirnya sang pencari kitab menemukan kitab yang dicarinya yang tak lain berisi 'omong kosong'. 

Saya berkesimpulan sedikit, bahwa paman saya ini sudah mirip sang pencari kitab, berhayal karena pak Klebun datang dan memberinya sedikit uang untuk membangun rumah yang ditempati paman. Padahal kenyataannya sama saja dengan cerita sang pencari kitab. Atau dalam cerita lain seno pernah menulis sebuh cerpen berjudul "Sepotong Senja Untuk Pacarku". Sukap yang malang seperti cintanya, memupukkan harapan untuk mendapatkan senja sebagai kado terindah pada pacarnya, Alina, yang makin hari telah membentang jarak dengan sukap dan kemudian menikah dengan laki-laki lain. betapa naif. Betapa hancur hati Sukab. tak jauh dari kisah Sukab, bisa saja pamanku akan hancur hatinya bagai tersayat-sayat saat yang ia harapkan dari Pak Klebun tak kunjung tiba, hanya janji, seperti sumpah serapah ketika kampanya pencalonan presiden atau DPR. 

"Janji-janji, janji tinggal janji" Begitulah sebuah lagu mendayu-dayu. Merdu tapi menyakitkan. Lagu tak pernah habis dinyanyikan. berita tak pernah ada habisnya untuk diberitakan dan hidup memang akan hanya janji tanpa jadi kenyataan. Seperti mereka merajuk orang miskin supaya semakin miskin. Semuanya hanya tinggal kata tak pernah nyata. 

Begitulah memang semakin hari kata-kata tak akan pernah habis, setiap kata kehilangan maknanya, setiap makna kehilangan artinya.

Hidup kita semakin sia-sia seperti paman berharap rumah baru dari kepala desa. Makin hari makin menukik nasib pada kesengsaraan. 

Barangkali tak ada salahnya kalau kita ingat-ingat dulu saat makan singkong sekarang sudah makan nasi putih. hidup memang semakin baik bagi mereka yang berkuasa. Tapi naif bagi mereka yang hanya bergantung pada kepala desa. 

Rumahku, Rumah paman yang sudah hilang akal sehatnya, telah menjadi ladang pencitraan, ladang gembala sapi perah yang semkin hari diperas hingga hilang susunya. Habis sudah tak ada yang bisa diharap dari tempat tinggal yang kumuh. Hanya mengeluh bukan untuk meminta bantuan. Hanya ditulis agar tercantum dalam katalog kemiskinan yang tak dipedulikan. 

Kita hanya bisa percaya pada diri kita sendiri, bukan orang lain, apalagi pada mereka yang berkuasa. Catatan ini biarlah ditulis bukan untuk mengeluh tapi untuk diingat, kita pernah hidup dan harus berbuat walau hanya menulis.

Seperti menggerutu hati saya berkata "hidup hanya sekali berbuat berkali-kali".

 

0 Comments