Saya Menikah Agar Jadi Filusuf


Oleh: M Fahri Hozaini

Tadi malam saya coba ikut kuliah filsafat Georgio Agamben atau malam sebelumnya Rosseous. Hanya ikut-ikutan saja sebagai alasan agar terlihat berpikir walau sedang berpikir keras minggu ini.

Sejujurnya belum tahu banyak tentang filsafat, tapi walaupun begitu setidaknya mulai menggerayangi untuk pergi dari riuh kesibukan scopus atau indek nilai yang dicapai, penelitian yang menjemuhkan dan sekelumit makian dosen karena belum menuliskan artikel yang sempurna, belum lagi harus beli buku sebagai sarat tak tertulis mendapat nilai tinggi.

Paginya saya kuliah dan heran saja saat mendegar pernyataan "bayar lima juta bisa jadi tembus scopus". Saya pikir-pikir kembali institusi pendidikan kita memang sudah tak bersahabat seperti halnya Paolo mengenalkan pendidikan humanisme, atau barangkali kuliah filsafat tadi malam, dengan santai, duduk tertawa menjernihkan pikiran dari rogokan uang pesangon untuk biaya diklat yang membunuh kemerdekaan kita.

Seandainya kualian kita dikampus sama saat kuliah diluar atau di warung kopi, duduk santai tanpa tekanan dosen agar nilai bagus, atau membeli buku sebagai sarat kelulusan. Celakanya bilan kampus tak mau lagi menjadi lahan pendidikan malah menjadi lahan bisnis. Sepertinya halnya mahasiswa pasca sarjana mulai merinding dengan tuntatan kata yang dibatasi 20 persen plagiasi, dari jumlah fot not  dan daftar pustaka yang hampir keseluruahan di dunia ini sama dengan siapapun yang memilih daftar refrensi.

Saya ingat kata adek sepupu diusinya masih seumur jagung "setelah dewasa menikah saja" katanya. perbandingan ini mungkin riel kenyataan yang bertolak belakang dengan himpitan ekonomi. Pandangan anak kecil saja menganggap lebih mudah menikah daripada melanjutkan kuliah di universitas unggulan. Jangan-jangan kuliah telah menjadi hantu yang sengaja di buat. Hantu yang hemat saya telah menjadikannya hukum pendidikan yang memaksa untuk mengerjakan tugas tepat waktu atau malah bayar spp yang semakin mahal. Tapi bisa jadi adek saya ingin jadi filsuf karena terngiang-ngiang dengan kata Socrates "dengan segala cara menikahlah! Jika mendpatkan pasangan yang baik, maka engkau akan bahagia. Jika mendapatkan pasangan yang tidak baik, maka engkau menjadi filsuf". Hahha bercanda saja.

Fokus lagi pada pendidiikan, mungkin pernyataan ini masuka akal bahwa sebenarnya pendidikan kita tak lebih dari transaksional dalam menuai penghasil, celaka bila hal ini terjadi. Saya malah lebih suka kuliah filsafat di salah satu koloman Sivitas Koteka. Cara belajar seolah-olah di atas mimbar, menyampaikan beberapa gagasan tokoh hebat Jean jacques rousseau yang menawan, tak lain menawarkan kembali tatanan ideal dalam negara. Sejatinya ada pemerintah, legislatif dan rakyat yang difungsikan bersama-sama sebagai legitimasi penguatan sistem bernegara. Setidaknya gambaran ini harus sama dalam proses pendidikan di kampus yang jauh harus mencerminkan kemerdekaan, atau setidaknya humanistik seperti pemikiran Paulo farire.

Setidaknya ini hanya catatan, cukup untuk diakhiri disaat emosi saya sedang klimaks. Saya hanya berharap besok saya kuliah dan mungkin saja tugas sudah selesai atau turniti telah hilang dari perdaban. 

Bukan begitu rekan?

1 Comments

  1. Sangat tertarik dengan tulisan dan daya fikirnya M.Fahri Hozaini

    ReplyDelete